17 Februari 2020. Saya melahirkan anak pertama yang diberi nama “Fathiya Hamida Rasyid”. Bayi perempuan kecil yang telah saya dan suami tunggu-tunggu kehadirannya.
Pagi itu tepat 1 bulan umur Fathiya, seperti aktivitas ibu baru lainnya, saya sedang memakaikan baju Fathiya sambil menonton TV. Hari demi hari saya lalui dengan bahagia pasca melahirkan. Namun dalam satu bulan ini, entah kenapa, banyak sekali kegelisahan yang muncul sebab amanah dan tanggung jawab di sekolah yang sementara harus ditinggalkan. Tapi, berita mewabahnya virus corona (Covid-19) yang beredar dan bermunculan dimana-mana, menjadi yang paling membuat saya khawatir dan gelisah.
Saat sedang menonton TV, tiba-tiba pemberitahuan pesan Whats App saya berbunyi. Sekejap saya langsung membaca isi pesan Whats App di grup sekolah tersebut. Isinya ternyata tentang informasi bahwa pembelajaran di sekolah harus diliburkan selama 2 pekan ke depan karena virus corona yang sudah menyebar ke beberapa wilayah di Indonesia.
Masyarakat kaget dan takut. Kaget karena 2 orang warga Indonesia telah tertular virus corona dan menjadi berita menggemparkan se-antero nusantara. Takut karena virus ini sangat berbahaya bagi manusia dan penularannya begitu sangat mudah. Saya berfikir, sudah pastilah pada akhirnya pemerintah mengambil kebijakan pembatasan aktivitas masyarakat di luar, salah satunya sekolah.
Dua pekan libur pandemi telah berlalu. Namun pemerintah ternyata mengambil langkah cepat kembali. Semua sekolah harus menutup kembali pembelajaran tatap muka selama 2 pekan, paahal kegiatan belajar masih harus tetap berlangsung (disebut Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) atau Belajar Dari Rumah (BDR)). Sekolah heboh. Guru-guru menjadi berfikir keras untuk merancang pembelajaran online (pembelajaran jarak jauh) yang dapat dilakukan siswa di rumah tanpa ke sekolah.
Setiap pagi, rekan kerja saya di kelas Abdurrahman bin Auf, Ustadzah Dinda, mengirim video sapa dan penugasan melalui Whats App. Saya selalu melihat itu di grup Whats App kelas setiap hari aktif belajar (Senin-Jum’at). Siswa kemudian diminta untuk mengirim video kegiatannya di grup Whats App tersebut. Saya terenyuh saat melihat video kegiatan anak-anak, karena sudah satu bulan mereka tidak bisa merasakan udara sekolah. Tak ada lagi anak-anak yang tersenyum dan menyapa gurunya saat tiba di sekolah. Tak ada lagi canda tawa sambil berlarian di taman bermain. Tak ada lagi isak tangis karena diambil mainannya. Semua hilang begitu saja dalam sekejap.
Tak terasa 3 bulan telah berlalu. Tibalah akhirnya saya mengakhiri masa cuti melahirkan yang membahagiakan sekaligus menyedihkan. Tepat tanggal 27 April 2020, saya kembali menyapa murid-murid Abdurrahman bin Auf walaupun hanya melalui Whats App. Tugas yang diambil alih Ustadzah Dinda sendirian selama 3 bulan akhirnya saya rasakan juga. Kami berbagi tugas mengirim video sapa dan penugasan setiap hari secara bergantian dari rumah masing-masing. Kegiatan ini rutin kami lakukan sampai H-1 bulan sebelum pembagian Rapor.
H-2 pekan menjelang pembagian rapor dan perpisahan, semua guru diminta hadir ke sekolah untuk membahas sedikit banyak terkait teknis pelaksanaannya. Banyak masukan dan evaluasi terkait pembelajaran jarak jauh di masa pandemi ini. Anak-anak menjadi uji coba pendidikan era digital. Semua kegiatan mereka lakukan di depan gadget tanpa interaksi langsung dengan guru dan teman-temannya. Guru-pun begitu. Guru dipaksa melek teknologi agar sistem pembelajaran berjalan seimbang. Pada akhirnya, sekolah yang menjadi ujung tombak pendidikan negara, harus dengan sigap membawa perubahan besar dalam sistem pendidikan di masa pandemi yang terbungkus Zaman Digitalisasi.
Pembagian Rapor yang biasanya dilakukan tatap muka langsung, hanya dilakukan lewat Video Call Whats App. Perubahan yang secara maknawi sama tapi rasa ruhnya berbeda. Perpisahan sekolah pun dilakukan tanpa selebrasi panggung besar dan mewah. Cukup hanya foto bersama di sekolah dengan jadwal kedatangan yang berbeda-beda tiap muridnya. Sedih, tapi mau bagaimana.
Ada lagi yang membuat hati saya terenyuh. Salah satu murid saya bernama Danial, membuat video perpisahan untuk guru dan teman-temannya setelah pengambilan Rapor. Ia bagikan momen itu di media sosial. Mulai dari kedatangannya ke sekolah yang hanya disambut guru tanpa berjabat tangan dan bersalaman, sampai proses pembagian rapor yang hanya sebentar saja. Ini sudah hampir 5 bulan sejak ia tidak bisa datang ke sekolah. Seperti rindu yang tak tahu kapan berakhirnya, ia jadikan momen ini dalam sebuah video yang menguras air mata.
Perubahan pada sistem pendidikan di masa pandemi ini menjadi tantangan besar yang mau tidak mau harus dihadapi pada akhirnya. Tidak hanya pendidikan dan sekolah, tapi seluruh elemen masyarakat menjadi korbannya. Banyak pekerja di PHK. Roda ekonomi negara mandek karena pedagangnya dilarang berjualan. Kantor-kantor pemerintah dinonaktifkan. Semua kegiatan masyarakat yang sifatnya harus berkumpul dan beramai-ramai dilarang. Sampai akhirnya saya berfikir, apa negara kita bisa bertahan dengan kondisi seperti ini ?
Sudah hampir tujuh bulan Indonesia menghadapi tantangan pandemi Covid-19. Dengan terus mewabahnya virus corona, sebagian besar siswa masih terpaksa harus belajar dari rumah. Kementerian Kesehatan akhirnya membagi wilayah pandemi menjadi zona merah, zona kuning dan zona hijau. Zona merah untuk wilayah dengan paling banyak jumlah pasien atau terduga virus corona, zona kuning masih zona waspada, sedangkan zona hijau adalah wilayah dengan jumlah pasien corona paling sedikit atau tidak ada. Dari pembagian wilayah pandemi ini akhirnya muncul kebijakan baru di ranah pendidikan.
Menjelang tahun ajaran baru 2020/2021, Menteri Pendidikan, Pak Nadiem Makarim membuat kebijakan. Sekolah di zona hijau dan kuning telah diperbolehkan untuk memulai kembali kegiatan belajar tatap muka dengan mengikuti persyaratan yang ketat, diantaranya adalah memenuhi protokol kesehatan dan mendapat izin pemerintah daerah (pemda) setempat. Sekolah bisa ditutup kembali jika muncul kasus Covid-19 di daerah tersebut. Pak Nadiem juga meluncurkan kurikulum darurat yang fokus pada pengajaran materi esensial. Sekolah pun diberikan fleksibilitas untuk menentukan kurikulum sesuai dengan kondisi siswa.
Kebijakan ini menjadi angin segar untuk mengobati kerinduan siswa yang ingin kembali merasakan “benar-benar sekolah”. Tapi sayangnya tidak di sekolah tempat saya bekerja. Kota Bandarlampung masih zona merah. Pemerintah setempat masih tetap melarang sekolah melakukan pembelajaran tatap muka. Hal ini yang akhirnya membuat guru-guru “berlari” agar kurikulum darurat bisa dipakai di dalam pembelajaran tahun ajaran 2020/2021.
Memasuki tahun ajaran baru, harapan untuk bisa melakukan pembelajaran tatap muka masih terngiang-ngiang di benak setiap orang tua. Banyak yang bertanya, “Ustadzah, kapan anak-anak bisa ke sekolah ?”. Selalu seperti itu pertanyaannya. Tapi ada juga yang memilih lebih baik sekolah di rumah daripada harus mengambil resiko besar tertular si corona. Pada akhirnya semua punya pilihannya masing-masing.
Terkadang saya merasa kasihan dengan anak-anak yang sekolah di zaman corona ini. Mereka terpaksa beradaptasi dengan sistem pembelajaran era digital. Tapi bisa jadi ini hanya perasaan yang muncul dari guru dan orang tua saja. Kita tidak tau, apakah anak-anak mungkin justru dengan gembira menyambut sekolah digital ini, dimana semua informasi pembelajaran dan penugasan dikirim melalui gadget dan media sosial. Guru membuat video pembelajaran di youtube bak youtuber-youtuber kekinian. Anak-anak bahkan secara tidak langsung belajar menjadi artis orang tuanya. Sedikit miris tapi mau bagaimana.
Saya mendapati hanya sedikit saja kekhawatiran di sekolah tempat saya bekerja, yaitu TKIT Qurrota A’yun 2. Di awal tahun ajaran baru 2020/2021 ini, sekolah kami masih belum mendapat izin untuk pembelajaran tatap muka dari pemda setempat. Tapi kami masih bisa tangguh melakukan pembelajaran jarak jauh dengan memanfaatkan semua media yang ada. Guru-guru diberi bekal pelatihan oleh yayasan agar mampu menguasai aplikasi-aplikasi seperti Kinemaster, Vivavideo, google classroom, google meet, zoom dan masih banyak lagi. Guru-guru dipaksa terampil dalam menggunakan karya-karya zaman digitalisasi ini.
Di sekolah kami, guru memiliki tanggung jawab membuat video pembelajaran sendiri dan membagikannya melalui youtube. Sedangkan anak-anak bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas yang diminta dan mengirim dokumentasinya ke google classroom atau ke Whats App. Selain itu, anak-anak masih bisa berinteraksi secara virtual dengan guru dan teman-temannya melalui Zoom setiap dua kali sepekan. Anak-anak diberi kesempatan menyapa guru dan temannya sebelum kegiatan inti dimulai. Kegiatan pembelajaran juga mengikuti alur seperti tatap muka, namun hanya saja waktunya dipersingkat dengan kegiatan inti yang masih tetap menyesuaikan tahapan perkembangan anak. Sekolah mengemban tanggung jawab besar dimana anak-anak harus tertunaikan haknya untuk bisa mendapatkan ilmu seperti ketika mereka belajar di sekolah.
Pembelajaran dari kurikulum darurat ini sedikit mengobati kekhawatiran orang tua yang merasa pesimis dengan sistem pendidikan di masa pandemi. Kekhawatiran ini juga yang membuat saya berfikir kembali, apakah anak-anak yang “belum tertunaikan haknya” di beberapa sekolah, bisa mendapat ilmu yang sama ?
Ini yang membuat saya kembali terenyuh saat melihat kondisi anak-anak di sekitar rumah saya yang masih termasuk desa/kampung. Anak-anak yang sekolah hanya mengambil tugas LK dua pekan atau sebulan sekali. Itupun anak-anak mengerjakan sendiri di rumah tanpa ada arahan dan pengajaran dari gurunya. Pembelajaran tidak terkontrol dan terevaluasi. Anak-anak bebas bermain kesana-sini tanpa merasakan “beban” menuntut ilmu. Kita seperti kehilangan satu generasi dimana mereka tidak bisa merasakan sekolah yang sebenarnya.
Pada akhirnya, kita sebagai manusia yang hanya bisa berikihtiar menunaikan tanggung jawab kita, cukup bertawakkal dan menyerahkan semuanya kepada sebaik-baik pembuat rencana, yaitu Allah SWT. Gelombang ujian yang terus-menerus diberikan menjadi titik poin agar kita mengevaluasi kerja-kerja kita. Semoga para guru yang diberi amanah besar menjadi tonggak dan agen perubahan, dapat terus melahirkan anak-anak ideologis yang bermanfaat bagi agama dan negara, apapun kondisinya, seberat apapun jalannya. Dan semoga para orang tua yang diberi amanah sebagai madrasah bagi anak-anaknya, diberi kesabaran dan kekuatan untuk menjalankan segala tantangan di masa pandemi ini, dimana penuh harapan besar di pundak mereka agar generasi ini bisa merasakan kembali udara sekolah sebagai tempat terbaik menuntut ilmu. Allahu’alam bishshawwab.